Rabu, 10 Desember 2014



Oleh : Jazilatur Rohmah

Istilah remaja adalah istilah yang tidak lagi asing di telinga kita. Status sebagai seorang remaja adalah fase mutlak dalam periode perkembangan individu. Lalu, pertanyaannya adalah siapakah remaja itu? Bagaimana masa remaja itu? Apa saja tugas remaja itu?

Remaja adalah masa dimana individu mengalami masa transisi dari anak-anak menjadi sosok yang dewasa. Masa ini sering disebutkan sebagai masa sensitif dalam perkembangan kepribadian maupun kognitif individu. Kita disebut sebagai seorang remaja ketika memasuki usia 12 tahun hingga mencapai usia 22 tahun. Dalam rentang usia inilah banyak perubahan yang kita jumpai dalam diri kita, baik secara fisik, kognitif maupun psikososial kita.

Ditinjau dari sisi usia, siapa sajakah penyandang status remaja itu? Jawabannya kita ketahui bersama yaitu pelajar dan mahasiswa sebagai salah satunya. Namun, sebagian besar orang salah persepsi menganggap statusnya sebagai mahasiswa adalah identitas kedewasaannya. Padahal ia masih dalam tahap remaja akhir yang melangkah menuju ke tahap dewasa itu.

Fase remaja menjadi sangat sensitif karena pada masa itu seseorang tidak lagi mau dianggap ataupun diperlakukan seperti anak-anak, namun ia belum juga memenuhi syarat disebut sebagai seorang yang dewasa. Dalam masa ini muncullah naluri pencarian identitas dirinya. Karenanya muncullah idiologi-idiologi yang mulai dipertahankan dalam prinsip hidupnya. 

Krisis identitas adalah bagian dari tugas yang harus diselesaikan oleh remaja dalam perkembangan kepribadiaanya. Karena setelah melewati fase ini ia akan menemukan sebuah komitmen yang akan mengantarnya menjadi dewasa. Namun,tidak semua remaja pernah mengalami krisis ini dalam perkembangannya dan tetap mampu menemukan komitmen atas pilihan-pilihan hidupnya. Dan tak jarang pula individu yang keluar dari masa krisisnya namun tak menemukan sebuah komtmen untuk hidupnya sehingga ia selalu berfigur pada dirinya sendiri saja.

Beralih dari pembahasan tentang psikologis remaja, saya ingin sedikit menyinggung tentang mahasiswa secara umum sebagai seorang remaja. Pada fase ini, beberapa mahasiswa menemui krisis dalam pencarian identitasnya. Mengutip dari komentar Andi Mahifal, ketika mengisi materi kemahasiswaan dalam OPAK 2014, “Mahasiswa sekarang itu, tidak totalitas dengan tipe tertentu. Ngakunya aktivis tapi masih takut nilai jelek, takut orang tua. Katanya akademis tapi tidak total memahami keilmuannya, katanya lagi hedon tapi takut dimarahi ketika IP-nya dibawah rata-rata. Ya itu krisis identitas namanya.”  

Dinamika perjalanan hidup mahasiswa selalu diwarnai dengan beragam aktivitas akademik, diskusi misalanya. Dalam hal ini seringkali seorang mahasiswa merasa bahwa dirinya paling benar atas pendapat-pendapatnya. Hal ini adalah salah satu ciri seorang remaja yang berada dalam masa krisisnya. Ia belum mampu menerima nilai atau model dari orang lain disekitarnya karena identity individuitas-nya masih tinggi. Banyak hal yang mempengaruhi hal ini, salah satunya tidak ada figur yang kuat yang ia temukan. Hal ini bisa jadi akibat dari masa sebelumya ia kurang mendapatkan intensitas kepercayaan terhadap lingkungannya. 

Seiring perkembangannya, individu akan melangkah memasuki tahap remaja akhir. Dalam masa ini, individu akan mencapai kematangan kognitifnya. Sisi kedewasaan dari seorang remaja mulai tampak. Dalam periode ini seorang remaja mulai keluar dari masa krisisnya dan mulai menemukan komitmen dan berfikir orientasi masa depannya. 

Mahasiswa di tahapan ini, mulai berkonsentrasi dengan rancangan prioritas masa depannya. Ia mulai membangun jaringan kerja dengan rekan sekitarnya. Namun, ada beberapa yang belum mampu mencapai kondisi ideal di tahapan ini, ia menjadi sosok yang antisosial misalnya. Hal ini merupakan akibat dari kegagalannya keluar dari masa krisis dan mengenal identitas dirinya. Sikap antisosial pada mahasiswa menunjukkan bahwa ia belum mampu menghayati peran dan tugas mahasiswa sebagai agen of change, dan agen of control. Untuk meminimalisir hal ini, bergabung dalam suatu komunitas atau organisasi akan banyak membantu.

Sebaliknya, tak jarang kita jumpai jenis mahasiswa yang selalu menggembor-gemborkan aktivitasnya diluar kampus. Bahkan tak jarang ia meninggalkan tugas akademiknya dan ironisnya menganggap perkuliahan adalah hal yang tidak penting. Jenis ini, bisa jadi dia telah keluar dari masa krisinya namun belum menemukan sebuah komitmen. Sehingga ia masih saja sibuk dengan dunia yang ia bangun, namun juga setengah memikirkan ketuntasannya sebagai mahasiswa, karena ia pun tidak punya keberanian untuk melepas penuh statusnya sebagai mahasiswa. Alhasil, dua identitas yang dimilikinya tidak dapat berjalan seimbang dan totalitas.  

Dengan mengenali tugas dan tantangan yang akan kita jumpai dalam perjalanan menuju kedewasaan, kita harusnya mampu membuat skema untuk meminimalisir dampak dari gagalnya keluar dari krisis identitas. Tidak ada yang mampu menjadi pribadi yang sempurna, namun tidak mustahil kita menjadi pribadi yang ideal. Hidup mahasiswa!
Posted by Unknown On 22.23 No comments READ FULL POST

Rabu, 03 Desember 2014

Oleh : Arif Riza Azizi

Dalam sejarah peradaban umat manusia, kemajuan suatu bangsa tidak hanya bisa dibangun dengan bermodalkan kekayaan alam yang melimpah maupun pengelolaan tata negara yang mapan, melainkan berawal dari peradaban buku atau penguasaan literasi yang berkelanjutan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Namun yang terjadi, pentingnya budaya literasi kurang diperhatikan sebagai kegiatan yang penting oleh masyarakat kita maupun pemerintah. Pemerintah disini, dimaksudkan sebagai pihak yang harusnya bisa memacu masyarakat untuk giat dalam kegiatan literasi, atau pihak pemerintah bisa menyelipkan-untuk tidak berkata menerapkan seutuhnya-kegiatan literasi di lingkungan pendidikan formal.

Secara sederhana, literasia atau literer istilah lain dari melek huruf secara fungsional adalah kemampuan seseorang untuk membaca, menulis, berhitung, dan berbicara serta kemampuan mengidentifikasi, mengurai dan memahami suatu masalah.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga terbitan Balai Pustaka, yang dimaksudkan dengan literer adalah (sesuatu yang) berhubungan dengan tulis-menulis. Dalam konteks kekinian, literasi atau literer memiliki definisi dan makna yang sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis dan peka terhadap lingkungan sekitar.

Dalam paradigma berpikir modern, literasi juga bisa diartikan sebagai kemampuan nalar manusia untuk mengartikulasikan segala fenomena sosial dengan huruf dan tulisan. Bahkan menurut Kirsch dan Jungeblut (1993) dalam bukunya Literacy: Profiles of America’s Young Adults, literasi kontemporer merupakan kemampuan seseorang dalam memanfaatkan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat luas.

Di sisi lain, Besnier (dikutip dalam Duranti, 2001) dalam Key Concepts in Language and Culture, literasi adalah komunikasi melalui inskripsi yang terbaca secara visual, bukan melalui saluran pendengaran dan isyarat. Inskripsi visual di sini termasuk di dalamnya adalah bahasa tulisan yang dimediasi dengan alphabet atau aksara.

Menurut hemat penulis, kegiatan literasi dapat diartikan sebagai kegiatan membaca, membaca hal yang tekstual dan kontekstual, lalu menuliskannya sebagai sebuah kegiatan pendokumentasian. Jadi, dua aspek penting literasi adalah membaca dan menulis. Orang yang banyak menulis adalah mereka yang juga banyak membaca. Karena keduanya sangat berkaitan erat satu sama lain. Kita bisa mengaca pada apa yang dilakukan oleh pendahulu kita. Perlu diketahui, sosok Soekarno, Hatta, Tan Malaka, mereka rajin menulis dan membaca. Tulisan mereka menjadi sebuah dokumentasi dari perjalanan sejarah Indonesia, meski disisi lain ada maksud dari mereka untuk mendokumentasikan perjalanan sejarah keindividuaannya. Itulah cara mereka mengabadikan kisahnya menjadi monument sejarah yang terus bisa dikenang oleh kita.

Jika kita amati sekarang, pendidikan kita mandeg perkembangannya, khususnya dalam hal kesadaran pelajar akan pentingnya membaca. Pelajar kita seringnya membaca untuk mendapat nilai. Mereka belum menyadari arti penting membaca, yakni membaca itu sendiri. Pendidikan di Indonesia adalah pendidikan pembelajaran, bukan pendidikan berliterasi. Disini tidak ada tuntutan bahwasanya, pendidikan diarahkan kepada pendidikan literasi. Tapi, disini pendidikan literasi bisa menjadi alternatif yang bisa memecah kebekuan pelajar kita yang semangat membacanya masih minim.

 Literasi juga harus disadari bukan saja kegiatan yang tercakup dalam dunia pendidikan formal. Siapapun kita? Dimanapun kita berada? Tua-muda, besar-kecil,anak-anak atau dewasa, siapapun kita bisa melaksanakan kegiatan literasi. Dan kita harus menyadari pentingnya berliterasi, itulah yang perlu ditekankan. Literasi harus kita giatkan sebagai elemen penting pengisi rutinitas sehari-hari. Kita harus bisa “Mengejawantahkan Semangat Literasi Pemuda sebagai Rutinitas Sehari-hari”, secara berkelanjutan. Memang selalu sulit untuk melaksanakannya, tapi, kesulitan itu akan terurai dengan kesungguhan dan pembiasaan yang terus menerus. Mari Berliterasi!


Posted by Unknown On 17.41 No comments READ FULL POST

Facebook

    Jumlah Pengunjung

    Text