Kamis, 12 Februari 2015

oleh : Nur Indah W
Lahir di Bogor, 21 November 1968, Justina Ayu Utami atau yang lebih dikenal sebagai Ayu Utami merupakan novelis yang identik dengan tema seksualitas. Melalui novel pertamanya, Saman, ia merayakan kebebasan tubuh. Sebenarnya, ada beberapa tawaran untuk membongkar penindasan atas nama jenis kelamin namun Ayu Utami memilih tema seksual sebagai fokus. Pemilihan ini bukan tanpa alasan. Hal ini berdasarkan argumen bahwa seksualitas masih dianggap sangat tabu sehingga tidak banyak yang mau mendiskusikannya dalam forum-forum publik. Lebih dari itu, banyak mitos seksualitas yang mengukuhkan dominasi laki-laki.

Oktober 2014, Ayu Utami menerbitkan karya terbaru berjudul Simple Miracles. Namun, sebelum membahas karya terbaru pendiri Aliansi Jurnalis Independen, tidak salah jika kita menengok kembali beberapa karya sebelumnya. Karya pertamanya berupa dwilogi berjudul Saman dan Larung. Kedua judul ini diambil dari salah tokoh dalam masing-masing karya. Saman merupakan sosok lelaki yang diburu oleh rezim militer. Ia dapat melarikan diri ke New York setelah mendapatkan bantuan dari empat sahabat perempuannya. Sedangkan Larung menjadi sosok misterius yang menemani saman dalam usaha membebaskan beberapa aktivis demokrasi yang juga diincar oleh aparat orde baru. Berlatar akhir 1990-an novel Saman dan Larung berhasil mengantarkan Ayu Utami sebagai penerima penghargaan Internasional Prince Claus Award 2000.

Goresan tinta terus berlanjut. Karya selanjutnya berupa trilogi mengenai arti cinta, kemerdekaan, serta hubungan lelaki-perempuan. Dibuka dengan novel Si Parasit Lajang berisi cercahan pikiran keseharian A. Perempuan yang memutuskan untuk tidak menikah. Cerita berlanjut pada novel Cerita Cinta Enrico, berkisah tentang enrico, seorang lelaki yang tak mau menikah karena tak mau kehilangan kemerdekaan. Ia lahir tepat di hari pemberontakan terbesar pertama dalam sejarah Indonesia dan menjadi bayi gerilya PRRI. Pemberontakan pribadinya berkelindan dengan peristiwa-peristiwa politik. Kedua tokoh ini bertemu dalam Pengakuan Eks Parasit Lajang. Trilogi ini berlatar politik Indonesia dari era Sukarno, Soeharto hingga reformasi.

Produktivitas Ayu Utami memang patut mendapat empat jempol. Selain dari karya di atas, masih ada beberapa novel lagi yang lahir dari tangan dingin salah satu pendiri Komunitas Utan Kayu ini. Sebut saja novel Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa (Candi Jawa Timur), Lalita (Candi Borobudur), Maya (Candi Prambanan) serta beberapa lainnya. Dua halaman rasanya tidak akan cukup untuk mengupasnya satu per satu.

Saat ini, Simple Miracles, dengan tawaran tema yang tidak biasa agaknya menarik untuk ditelisik lebih lanjut. Ia menjadi karya terbaru yang terbit di tengah pesta demokrasi 2014. Buku pertama dari seri spiritualisme kritis karya Ayu Utami ini dipersembahkan untuk memperingati 100 hari kematian ibunya. Ia bercerita tentang keajaiban-keajaiban sederhana terkait dengan doa, kematian, dan arwah, serta bagaimana nalar mencoba untuk mencernanya. Proses penalaran diawali dengan beroposisi. Kepercayaan dan peraguan. Iman dan skeptisisme. Dimana umumnya manusia cenderung untuk lebih dahulu percaya atau lebih dahulu tidak percaya sesuatu, baru kemudian ditambahkan alasan.

Mekanisme iman terjadi jika kita percaya meskipun apa yang kita percaya itu tidak kelihatan, tidak bisa dibuktikan tidak juga dapat diprediksi. Berdasarkan argumen ini, Ayu Utami menyerupakan tuhan dengan hantu. Adapun mekanisme skeptis terjadi saat kita menuntut bukti dan ketetapan dari makna yang ditawarkan. Sesuatu hanya dapat dipercaya jika ada bukti material dan obyektif. Contoh: Kita hanya boleh percaya pada penampakan kalau kita bisa melihatnya. Namun tidak cukup satu orang yang melihat, karena bisa jadi itu halusinasi. Penampakan itu harus dapat dilihat beramai-ramai. Atau jika sesuatu bisa diprediksi berdasarkan hukum keteraturan. Contoh: Kepercayaan manusia akan siang dan malam, sebab kita bisa menemukan hukum keteraturan di dalamnya.

Sebenarnya spiritualisme kritis bukan istilah baru, Ayu Utami pernah sedikit menyinggungnya melalui tokoh Parang Jati dalam Bilangan Fu. Namun baru dalam Simple Miracles, Ia mulai benar-benar fokus pada penalaran akan dunia spirit. Ia memaknai spiritualisme kritis sebagai sikap terbuka pada yang spiritual tanpa menghianati nalar kritis.

Ayu Utami menyadari, membuka diri pada dunia spirit dan arwah bukan tanpa resiko. Kemungkinan diombang-ambingkan dan dimanipulasi senantiasa menghantui, sebab seseorang akan berhadapan dengan yang tidak bisa diverifikasi. Oleh karenanya, tidak heran jika sebagaian orang memilih menutup diri. Padahal, menutup diri akan memutus kita dari sumber-sumber tak terduga maupun kreativitas.

Untuk bisa bersikap terbuka sambil mengurangi resiko diperdaya, Ayu Utami menawarkan ramuan sederhana. Ramuan tersebut berisi beberapa pertanyaan kritis. Ia mencontohkan tiga pertanyaan. Pertama, apa reputasi si penyampai informasi atau si medium? Apakah orang atau benda itu punya pola yang bisa dipercaya?

Kedua, apakah konsistensi logis atau kecocokan informasi gaib itu dengan fakta dan data lain? Kalau tidak ada, informasi tersebut dapat langsung dibuang. Kalau pun tampak konsisten, suatu informasi belum tentu benar. Bisa saja hasil dari rekayasa ataupun persekongkolan. Artinya disini kebenaran faktual memang sangat sulit dicapai. Maka, kita diantar pada suatu sikap yang lain. Yaitu pencarian makna ini biasanya tidak bisa diturunkan menjadi dalil-dalil untuk menghakimi.

Pertanyaan bantu ketiga, adakah pihak yang menangguk keuntungan dari suatu informasi gaib? Keuntungan bisa berupa materi maupun sekedar pemenuhan hasrat. Misalnya, hasrat untuk diakui. Selidiki saja seberapa jauh kepentingan orang lain atau kita sendiri memanipulasi informasi spiritual itu. Perlu diingat, ketiga pertanyaan ini hanyalah sebagai alat bantu dalam menemukan pemahaman atas sesuatu yang bersifat gaib. Ketiganya bukanlah standar baku. Kita bisa menambahkan pertanyaan lain yang sekiranya dapat memperkuat ataupun merobohkan bangunan kepercayaan yang ada. Namun, hal yang tidak dapat dibuktikan secara materi bukan berarti salah, hanya saja tidak dapat digunanakan sebagai dasar untuk menghakimi yang lain.

Awalnya saya mengira setelah membawa tema baru, Ayu Utami akan meninggalkan tema ketubuhan. Namun ternyata tidak, saya menemukan penggambaran yang mirip teori psikoanalisis. Ia sedikit menyinggung tahapan oral pada bayi sebagai pertanda awal kepemilikan hasrat seksual pada manusia. Meskipun amat sedikit, namun kolaborasi antara seksualitas dan spiritualisme kritis pasti akan melahirkan komposisi yang unik. Sebagai pembuka, buku pertama seri spiritualisme kritis ini cukup mampu mengundang rasa penasaran, tentu para fans sudah tidak sabar membaca karya selanjutnya. Saya pun turut berdoa, semoga buku kedua segera hadir bersama setumpuk kejutan yang siap memanjakan pembaca. Amin.

*22 : 49, ditemani ibuk yang terkantuk-kantuk*
Posted by Unknown On 16.42 2 comments

2 komentar :

  1. Sahabat dimensi ko blog nya kurang up date ...di tunggu entri baru nya ya

    BalasHapus
  2. Sahabat dimensi ko blog nya kurang up date ...di tunggu entri baru nya ya

    BalasHapus

Facebook

    Jumlah Pengunjung

    Text