Sore itu Zainu benar-benar marah karena
Nina membuang tanaman kacang hijaunya yang akan digunakan untuk praktikum
Biologi esoknya. Namun, Nina justru tertawa karena berhasil membuat kakaknya
marah.
Mereka hanya tinggal bertiga dengan
pembantu semenjak orangtua mereka meninggal akibat kecelakaan pesawat enam
tahun yang lalu. Lisa, pembantu muda yang tinggal di rumah mereka telah
menganggap mereka seperti adiknya sendiri. Sementara itu, Zainu merangkap
sekolah dan bekerja di perusahaan kecil milik omnya. Nina yang baru duduk di
kelas tiga SMP itu mulai jail sejak kehilangan orangtuanya. Lisa lah yang
selama ini mengasuhnya bersama Zainu sejak Mbok Inah berhenti menjadi pembantu
di rumah itu.
“ Mas Zen jangan kasar ya sama Nina!”, Lisa
menasehati.
“ Mbak tau nggak, aku udah ngerawat
tanaman itu seminggu. Besok aku bisa dihukum. Gimana aku nggak BT ?”, keluh
Zainu kesal.
“ Mas harus memahami Nina. Kebanyakan
anak yang ditinggal orangtuanya saat masih kecil akan bersifat kekanak-kanakanan
ketika seharusnya dia mulai dewasa. Nina seperti itu karena dia haus kasih sayang.
Tolong, maafkan Nina.”, pinta Lisa. “Biar nanti Saya yang bicara dengannya dari
hati ke hati. Untuk tanaman itu, mungkin Mas Radit atau Mas Johan punya
cadangan. Jadi, sebaiknya Mas Zen coba ke sana dulu.”
Zainu mengangguk. “ Oke, Mbak, Aku coba
dulu, makasih.’
* * *
Untuk ke sekian kalinya Nina membuat
Zainu kesal. Dia melukis sesuatu dengan cat minyak di kaos kaki putih zainu
yang akan dipakai, padahal Zainu harus berkaos kaki putih polos jika tak mau
berhubungan dengan guru BP. Rupanya, nasihat Lisa tak mempan untuk Nina yang
semakin brutal. Dan untuk ke sekian kali,
Lisa meminta Zainu untuk mengalah.
“Aku bisa stress, Mbak..”, keluh Zainu.
“
Sabar, Mas! Di rumah ini cuma Mas Zen tumpuan hati Nina. Dia tak punya
siapa-siapa lagi, Mas.”, Lisa menenangkan.
“ Kenapa Mbak Lisa masih mau jadi
pembantu di sini? Mbak masih muda, kenapa tidak cari pekerjaan lain saja?”
“Saya meneruskan pengabdian Mbok Inah,
ibu Saya. Kami sangat berutang budi pada keluarga Mas Zen..” Jawabnya.
“Mbak nggak ingin nikah?’ ,yanya Zainu.
Lisa nyelimur, “Maaf, Mas, tadi Saya merebus air. Saya lihat dulu.”
Diam-diam Zainu mulai mengagumi pembantunya. Tapi tak bisa
lebih, karena dia sudah menganggapnya bagian dari keluarganya sendiri. Bersama
Lisa lah Zainu memperjuangkan adiknya yang masih kekanak-kanakan meskipun sudah
kelas tiga SMP.
“ Kak Zen…!” Teriak Nina. “Bikinin mie
goreng, Kak…!”
“Nin, Mbak Lisa kan lagi di dapur.
Minta ke Mbak Lisa sana!” Ucap Zainu. “Kakak lagi ngerjain PR.”
“Mbak Lisa lagi mandi, Kak. Aku lapernya
sekarang. Cepetan, Kak Zainu…!”
“ Bentar, Nina.”
“Kalo nggak sekarang, Aku robek-robek
LKS Kak Zen.” Ancamnya.
Akhirnya Zainu meninggalkan meja
belajarnya. Kalau Lisa saja bisa bertahan, kenapa dia sebagai kakak kandungnya
tidak mampu, kendati kelakuan jail Nina tak dibatasi sama sekali.
Sore itu, Radit, teman Zainu datang ke
rumah bersama Johan. Setelah Nina mempersilakan masuk, mereka mencari Zainu ke
dapur.
“ Ini kerjaan adek lo?” Sapa Radit.
“Sabar bener lo jadi orang. Kalo gue….udah
buang adek yang kayak gitu.” Tambah Johan.
“Kak Zen…cepetan!” Teriak Nina. “Lama
amat sih.”
“Sini, biar gue bawain.” Ujar Radit.
“Nggak,nggak, ntar dia malah makin
nyiksa gue, lagi.”, tolak Zainu.
“Biar gue bawa sendiri aja.”
“Kak Zen…aku hitung lima detik, kalo
nggak nyampe sini, aku sobek LKS Kakak. Lima… empat…”, teriak Nina berkacak
pinggang.
Dilogika saja tak mungkin dalam lima
detik Zainu mampu membawa semangkuk mie panas dari dapur ke ruang tamu.
Sesampainya di depan Nina, Zainu shock melihat LKS-nya telah hancur menjadi
sobekan-sobekan kecil padahal besok ia harus mengumpulkan LKS itu ke guru
Biologinya. Radit dan Johan pun tak menyangka Nina serius dengan ancamannya.
“Kamu terlambat, Kakakku yang tampan.”,
ucap Nina sambil berkacak pinggang.
Kali ini kesabaran Zainu sudah habis.
“Udah puas, Kamu, Dik? Bisa, nggak, dalam sehari aja kamu nggak nyiksa Kakak?
LKS itu Kakak kerjakan dari pagi, Dik. Udah hampir selesai, Kamu sobek. Itu
tugas besok, Nina.”
“Enam tahun. Dik, aku perjuangin kamu.
Sehari aja belum pernah kamu nggak nyiksa Kakak. Selama enam tahun juga, aku mengalah
meski hatiku sakit melihat kelakuanmu, Nin. Kamu sama sekali nggak menghargai
Kakak. Apa pernah Kakak minta sesuatu ke kamu selain berubah? Apa pernah
permintaan kamu nggak kakak turuti? Kurang puas kamu enam tahun nyiksa Kakak,
Dik?”
“Oke, anggap aja semua itu kenangan
manismu dengan kakakmu satu-satunya. Kali ini Kak Zainu nggak bisa maafin
kamu.”, Zainu mengambil kunci mobil lalu pergi.
“Zen, lo serius?”, tanya Radit.
“ Gimana pun, dia adek lo satu-satunya.”, ujar Johan
mengingatkan.
Nina sama sekali tak menampakkan raut
sesal di hadapan Zainu. Tapi setelah Zainu pergi, Nina langsung menangis di
pelukan Lisa. Sebenarnya dia telah menyesal sejak mendengar kata-kata Zainu
tapi gengsi untuk minta maaf.
“Udah, udah…” Lisa menenangkan. “Kamu
tau, kenapa Kak Zen semarah itu? Besok adalah hari ulang tahunnya, Nina. Apa
kamu juga mau jailin kakakmu di hari ultahnya seperti tahun-tahun sebelumnya?
Kak Zainu menginginkan hari indah bersamamu. Kamu nggak usah gengsi untuk minta
maaf. Minta maaf itu nggak usah malu. Jangan menunda kebaikan jika kamu nggak
ingin menyesal. Kamu mau berubah untuk Kak Zen ‘kan?”
“Iya, Mbak. Tapi Kak Zen bener-bener
marah sama aku. Dia pergi, Mbak.” Rengek Nina.
“Sssst…semarah apapun, nggak ada kata
benci di kamus kakakmu. Mbak yakin, dia pasti maafin kamu. Ya udah, nanti
setelah kamu belajar, kita siapin kejutan buat ultah Kak Zen, ya.” Hibur Lisa.
Nina tersenyum. “Makasih, Mbak Lisa.”
Ucapnya. Aku telepon kak Zen dulu, biar cepat pulang.”
Tapi sayang, Zainu menonaktifkan
ponselnya sehingga Nina tak dapat menghubunginya. Radit dan Johan pun kompak
dengannya melakukan hal serupa. Lisa mencari cara untuk menenangkan Nina yang
gelisah memikirkan kakaknya dengan meyakinkan bahwa Zainu pasti akan kembali.
Usai belajar, Nina mengajak Lisa
membeli kado untuk Zainu. Setelah kado terbungkus rapi, Nina membeli bunga
permintaan maaf untuk kakaknya di florist Radit.
“Kak Zainu nggak di sini, Kak?”, tanya
Nina.
“Tadi aku dan Johan pencar, nggak
sama kakakmu. Bunga ini untuk Zen?”, tanya Radit.
“Iya, Kak. Sebagai permintaan
maafku. Nggak apa-apa, kan?”
“Ya, asal bukan bunga duka cita
aja.”, canda Radit.
“Kak Radit kok ngomong gitu sih? Ya
udah, aku pamit dulu, Kak, dah malam.”
Sesampainya di rumah, Lisa dan Nina
menghias ruang tamu dan kamar Zainu dengan pernak-pernik yang baru saja mereka
beli. Nina juga membantu Lisa membuat kue tart sampai jam dua dini hari. Tapi
sampai saat itu Zainu belum pulang juga.
“Mbak, kak Zen kemana, ya? Aku takut
terjadi sesuatu sama kak Zen, Mbak.”, ucap Nina khawatir.
“Coba sekarang kamu hubungi kak
Johan, mungkin HP-nya udah aktif. Barangkali aja dia tau kak Zainu dimana.”
Nina mencoba menghubungi Johan
namun tak ada respon. “Nggak diangkat, Mbak…”
“ Udah ya, Nina, kamu tidur aja dulu. Besok
kan kamu sekolah. Mata kamu udah lelah. Mata kamu butuh istirahat. Lagian, kak
Zainu juga sekolah, kan? Percaya deh, kakakmu pasti pulang.”, bujuk Lisa.
Akhirnya Lisa berhasil menenangkan
Nina hingga ia tertidur. Tapi, usai subuh saat Lisa dan Nina membersihkan rumah
untuk menyambut Zainu, Johan datang dengan menyampaikan berita yang menguras
air mata Nina: jelang subuh Zainu mengalami kecelakaan dengan sebuah kontainer.
Saat ini dia di rumah sakit dalam keadaan kritis.
Nina histeris mendengar berita dari
Johan. Sekujur badannya seolah tak berdaya sama sekali. Lisa terus berusaha
menenangkannya meski sebenarnya dia sendiri terguncang mendengar kabar itu.
“Kita ke rumah sakit sekarang.”
Ajak Johan. “Ayo, Nina, kamu harus kuat… kamu harus bisa menyemangati kakakmu.”
Dalam perjalanan ke rumah sakit,
Nina tak berhenti meneteskan air matanya. Sesal, takut, dan sedih menyelimuti
hatinya saat ini. Kenapa tak segera minta maaf, kenapa selama ini ia tak
menyadari kebaikan kakaknya, kenapa ia selalu menyusahkannya. Bukankah Zainu
yang selama ini memperjuangkan hidupnya setelah tiada lagi orang tua sebagai
sandaran hidup.
Sampai di rumah sakit, langkah
kaki Nina terasa berat seolah ada ribuan ton besi menempel di telapak kakinya.
Namun, ia terus melangkah bersama Johan dan Lisa menujui UGD. Sesampainya di
pintu, dokter keluar dari ruangan itu tapi mereka bertiga tak peduli. Mereka
langsung masuk. Tapi…suster telah menutup seluruh tubuh Zainu dengan selimut
putih dengan derai tangis om Heru, tante Mela dan Radit yang sejak tadi berada
di sana.
Isak tangis Nina tak dapat dibendung
lagi ketika melihat kakaknya telah berselimut putih hingga kepalan.
“Kak Zen…bangun! Aku mau minta maaf, aku mau
berubah, tapi tolong, bangun, Kak… kenapa Kakak diam aja? Kakak masih marah?
Aku minta maaf, Kak… ayo kita pulang… aku udah siapin kejutan buat ulang tahun
Kakak. Aku udah siapin kado buat Kak Zainu, tapi kenapa kamu diam saja, Kak?
Aku mau buktiin kalo aku berubah. Lihat aku, Kak Zainu…bangun!” nina
menggoyang-goyangkan tubuh Zainu dan memeluknya. “Jangan pergi, Kak…aku sayang
Kakak.”
Kali ini Lisa tak mampu lagi
menenangkan Nina karena hatinya sendiri tak sanggup melihat kenyataan di
hadapannya. Hanya airmata yang tak mampu berkata-kata menyaksikan peristiwa
yang pahit.
“ Udah, ya, Nina…kamu yang sabar,
Sayang. Om dan tante yang akan jagain kamu. Relakan kakakmu pergi dengan
tenang.”, ucap om Heru.
“Nina…ini HP kak Zainu.”, Radit
menyerahkan ponsel Zainu pada Nina. “Kemarin sebelum aku berpisah dengan
kakakmu, dia memintaku kasih HP ini ke kamu hari ini. Ada rekaman video yang
perlu kamu lihat, Dik.”
“Dia merekam sesuatu sebelum pencar
kemarin. Kamu yang tabah, ya. Kak Johan sama Kak Radit juga siap jagain kamu.
Kami semua sayang sama kamu, Nina. Sekarang kamu buka videonya.”, ucap Johan.
Dengan hati yang sangat lemah, Nina
memutar video itu.
“Nina sayang…Kak Zen nggak marah kok
sama kamu. Kakak Cuma ingin kamu berubah. Maafin kakak kalo kemarin kasar sama
kamu. Kakak pergi bukan karena benci, tapi karena sayang sekali sama kamu, Dik.
Kakak ingin kamu merenung dan bisa lebih dewasa. Kamu nggak usah sedih, Dik.
Nina itu ceria, periang. Kamu nggak boleh nangis, apalagi nangisin Kakak. Kakak
senang lihat kamu tersenyum. Tolong, kasih kakak senyuman terindahmu hari ini.
Dan senyumlah selalu untukku.
Makasih, untuk hari-hari yang udah
kita lewati bersama, dan makasih banget untuk hari ini, Dik. Hari ini adalah
hari yang sangat berarti untuk Kakak. kamu nggak usah menyesali semuanya,
karena Kakak sangat mencintai kamu. Kakak yakin suatu saat kamu kamu bisa
menjadi Nina yang lebih baik. Kakak udah
maafin semua kesalahan kamu. Tak ada yang perlu kamu sesali, Dik. Kamu adalah
harapan Kak Zainu. Jangan nakal…satu lagi permintaan Kakak, jangan menangis.
Senyumlah, karena senyummu adalah kado terindah buat Kak Zainu. I love you,
Nina.”
Dengan kepedihan yang teramat dalam,
Nina mengukir senyuman terindahnya untuk Zainu. Mungkin inilah jalan Ilahi
untuk membuatnya berubah karena pasti ada hikmah di balik semua peristiwa
sekecil apa pun.
“Selamat jalan, Kak Zainu. Semoga
Kakak bahagia di sana. Aku sayang Kakak.”, Nina mengecup kening Zainu untuk
yang terakhir sebelum menutupkan selimut itu kembali. “Aku akan selalu
merindukanmu.”
* Written by
Ni’matul Khoiriyyah
080811